Senin, 28 Februari 2011

San Soul - Berantem

BERANTEM

“ARGHH” geramku sambil memukul meja belajar yang sudah kutata rapi. “Sebeeeel” tambahku sampai suara cempreng yang khas serta melengking itu menggema ke sela-sela kamar. Aku melanjutkannya dengan menangis.
Seseorang datang menghampiri kamarku. “Melody” sahutnya mengetuk pintu. Itu Echa, saudari kembarku sekaligus adikku yang amat lembut. “Ada apa Melody?” tanyanya seraya khawatir padaku.
“PERGI!” seruku kasar. “JANGAN KESINI! AKU LAGI GAK MAU KETEMU SIAPAPUN” Bodo! Justru kata-kata aku malah bikin dia khawatir.
“Mel, kalo ada masalah cerita aja. Jangan nangis begitu!” kata Echa.
“AKU UDAH BILANG AKU GAK MAU KETEMU SIAPAPUN!” amukanku nambah ke seratus derajat layak air mendidih dalam panci. Dan pasti, Echa tambah sedih.
“Biarkan saja!” kata sebuah suara. Aku kenal dia. Siapa lagi kalo bukan Lightning, saudari kembarku yang sulung. Langkah kaki yang begitu santai, dan juga suara yang datar. Itu ciri khasnya.
“Ta-tapi Lili...” sela Echa.
“Biarkan” kata Lightning datar. “Nanti dia akan kembali ke semula kok. Lagipula, dia baru bertengkar dengan Kirei”
“Mereka berantem apa lagi sih?” gumam Echa.
“Paling cuma masalah sepele” kata Lightning cemberut.
* * *
Keesokan harinya disekolah, semua murid belajar seperti biasa. Tapi kali ini, sang ibu guru ngasih tugas numpuk, wew! Seabreg deh PR buat kami. Otomatis kami ketar-ketir, manalagi harus selesai lusa. Aku yang enggak dianugrahi otak encer udah pengen muntah!
Tiba-tiba seseorang membuyarkan pikiranku. “Eh, Mel” sapa Eco, best friendku blasteran negro n papua yang gak kalah gelap sama pantat kuali gosong. “Kerjain tugasnya bareng yuk! Sama Kirei” ajaknya.
GLEK! Kirei ya..? GRRR...! Please jangan sebut nama itu! Sumpah aku benci sama dia. “GAK!” kataku dengan angkuh.
Otomatis Kirei yang sebangku sama aku langsung sewot. “BIASA AJA DONG!” erangnya. Lalu ia langsung pergi dari tempat duduknya ke bangku Echa dan Mira.
“Kenapa sih?” tanya Eco seraya heran. Habis, Kirei sama Melody yang kesehariannya keliatan kompak, sehati, paling heboh, gokil, rame nyampe gak bisa dipisahin kok keliatan acuh tak acuh hari ini? “Berantem ya...?”
“iihhh” aku malah nyewot.
***
Pulang sekolah, ini gak seperti biasanya. Aku nimbrung bareng anak-anak cowok, dan tingkah laku mereka sumpah bikin aku babak belur. Dan aku menatap Kirei dari kejauhan. Lho! Kok dia gak sama Echa atau teman-teman lainnya? Tapi... sama Lightning. GLEK! Aku sweatdrop dan gak bisa ngapa-ngapain.
Gimana caranya kakakku yang super cool, tanpa ekspresi dan misterius itu bisa bareng sama Kirei yang justru sifatnya berbanding terbalik 180 derajat? Sumpah, serem!
Sesampainya di rumah, aku melempar tas ke arah sofa dengan kesal. Disambarnya remot TV lalu aku menonton acara kesukaanku yang tak lain Konser Justin Beiber. Tapi rasanya ada yang kurang lengkap waktu menonton tokoh idolaku itu.
Ya. “Gak ada Kirei” cetusku. Kalo nonton bareng Kirei bisa heboh nan rame. Sampai suara cerewet nan cempreng kami yang melengking itu bisa menggema ke tetangga-tetangga tak berdosa, bahkan bisa menyebabkan petaka luar biasa. Dapat cercaan, makian, ancaman. Lengkap sudah. But we still enjoy it!
“Mel...” tiba-tiba sebuah suara yang lemah lembut menyadarkan lamunanku.
“Ehh–Echa” sahutku kaget.
Echa yang terlihat lelah dan pucat itu menghampiriku. Ia memang menderita anemia yang amat parah. “Kenapa diam saja? Biasanya kamu ribut kalo liat JB” kata Echa.
Aku cuma pasang muka cemberut dan gak bisa jawab.
“Gak ada Kirei ya” kata Echa seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
“Cih! Ngapain harus ada dia?” seruku kasar.
“Kalian berantem ya” kata Echa. “Ceritakan masalahmu, Insya Allah aku akan kasih solusi”
Aku terbelalak. Adikku baik banget mau denger curhatku. Aku menghela nafas untuk memulai.
Flashback ON!
Aku dan Kirei sedang bermain ke apartemen untuk mengunjungi paman Agus, yang tak lain adalah paman Kirei. Waktu aku amat senang sekali bakal ketemu paman Agus yang dikenal baik, gokil dan ramah itu.
“Aku gak akan digondokin kan?” tanyaku karena takut bakal jadi patung.
“Gak akan dong, say” kata Kirei meyakinkan.
Sesampainya di apartemen, kali ini sifat Kirei yang aku kenal berubah total jadi 100% AUTIS bin aneh. Aku melihat paman Agus menyapa kami dengan ramah. Tapi Kirei membalasnya dan langsung masuk ke kediaman paman Agus. Lebih parahnya... dia mengabaikanku.
“Eh Kirei, tenang dulu dong” kata paman Agus. “Kamu teman Kirei kan? Silahkan masuk!” tambahnya mempersilahkan aku masuk.
Ketika berada di dalam apartemen, Kirei tampak akrab dengan pamannya. Hanya saja, aku mulai merasa aneh padanya. Kenapa tidak memperkenalkan aku kepada pamannya, lebih menyakitkannya dia terus mengobrol panjang lebar dan mengabaikanku. Huh!
“Aku izin pulang” kataku yang sudah tidak tahan. Aku berdiri dan menghampiri pintu.
“Eh, Mel. Tungguin dulu! Kita pulang bareng” kata Kirei.
“Maaf. Aku harus jagain Echa yang sakit. Lightning lagi kerja sambilan, pasti pulang agak sore” dustaku. Aku langsung keluar apartemen tanpa pamit. Tanpa kusadari, Kirei membuntutiku sampai ke Lift. “Mel” panggilnya.
Ada perasaan benci yang membuatku sesak. Entah apa yang sedang aku pikirkan, tiba-tiba aku melontarkannya, “Kalo kamu masih nganggap aku sahabat sebaiknya jangan gondokin aku kayak gitu!”
“Mel, karena itu aku mau minta maaf” kata Kirei.
“Berisik!” seruku mengguntur. “Seorang sahabat tidak akan membiarkan sahabatnya sendiri dan kesepian. Kalo kamu gak butuh aku bilang aja! Lagian aku masih punya Echa sama Lightning”
Kirei kaget. Aku tahu kalau kata-kataku telah menyakitinya. “Ya udah kalo gitu. Siapa lagi yang butuh kamu” ketus Kirei.
Aku memalingkan wajah dan menekan tombol lift. Perlahan-lahan kutatap Kirei yang perlahan menjauh dengan penuh kecewa.
Flashback OFF!
“Ya, begitulah” kataku dengan muka kusam. Echa yang mendengar cerita itu hanya ber-oh-ria.
“Kamu ceroboh sih. Berkata seperti itu. Tentu aja dia sakit hati” kata Echa.
“Habis siapa yang gak marah digituin?” kataku kesal.
“Sebaiknya kamu minta maaf sama dia. Dia kan udah minta maaf sama kamu” saran Echa.
“Kalo dia mau denger. Habis yang namanya Kirei susah membuka pintu hati untuk memaafkan orang” kataku cemberut.
***
Lusa berikutnya, aku dan Kirei dihukum sama guru tergalak di sekolah yang tak lain adalah guru matematika. Dashyat! Kami dihukum karena gak ngerjain PR. Sebenernya aku ngerjain bareng duo kembarku. Tapi ibu guru gak merestui kalo hasilnya sama persis. Gara-gara itu, aku bersama Kirei dihukum buat ngebersihin toilet.
Pulang sekolah, aku dan Kirei bergegas ke toilet sambil bawa lap pel dan ember. Kami gak berani bertatap dan hanya keheningan yang terjadi disaat kami bekerja. Tapi di sela-sela itu...
“Kirei...” panggilku. Kirei pura-pura tidak mendengar. “Kirei... AKU MINTA MAAF” seruku, dan air mata mulai membasahi pipiku.
Kirei menghentikan pekerjaannya. Ia sendiri gak bisa ngomong apa-apa ketika melihat aku menangis.
“Aku minta maaf kalo aku udah berkata kasar. Kalo kamu berkenan, kamu boleh hukum aku sekarang” kataku. Kirei cenga cengo dan memancarkan wajah polosnya. “Kamu tau, setiap aku sendiri, Cuma kamu yang asik diajak bicara, tertawa dan bercanda. Bahkan setiap nonton JB, aku kesepian gara-gara gak ada kamu. Jujur, aku sayang banget sama kamu”
Hati Kirei tersentuh. Ia juga mulai menangis. “Aku juga sayang kamu, Mel” serunya sambil memeluk Melody. “Maaf ya!”
“Maafin aku juga ya!” kataku dalam isak tangis.
Disaat kedua sahabat itu dalam suasana haru, tanpa mereka sadari... Echa dan Lightning menguping dari luar toilet. Mereka turut merasa senang kalau saudari mereka akhirnya bisa bersama sahabatnya lagi. Saudari yang baik ya?
“Akhirnya, satu masalah sudah selesai” kata Echa tersenyum lega.
“Ya” kata Lightning datar dengan wajah tanpa ekspresi itu. “Pertengkaran antara mereka adalah bukti bahwa persahabatan mereka telah terukir di dalam hati”
-The End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar